Air itu… Kelabu

Speechless.

Hari ini adalah salah satu dari ribuan hari gila gue yang gue alamin.  Seperti tanggal unik hari ini (13/11/13 *sayang gak ada 13/13/13*), gue pake salah satu dresscode keren yang gue pake seumur hidup; hari ini gue bawa kamera yang habis terangkat dari gudang yang ternyata spesifikasinya sampai 700 MP.  What a blessing to me for having such a good thing, Hehehe. 😀

Seperti biasa hari ini gue jalanin dengan semua kegilaan yang gue sebarin sama temen-temen unik gue.  Unik–ya, trust me, se-ngebikin illfeel nya orang, mereka semua UNIQUE.  Tapi hari ini emang gak cuma tanggalnya yang istimewa, tapi kejadian yang gue alamin sehari ini.  Seperti kata pepatah, setiap hari adalah pengalaman.

Tapi semua kegilaan itu hilang sesaat waktu pelajaran Bahasa Inggris yang mewajibkan setiap orang belajar bagaimana belajar *ini yang gue suka* dan mengharuskan setiap muridnya untuk adaptasi.   Memang kelas sejuk yang ada di Lab. Bahasa ini didesain untuk setiap anaknya duduk urut no. absen, dan kebetulan temen bangku gue itu dua anak yang memang ditempatin sama Tuhan buat duduk di sebelah gue untuk suatu alasan yang jelas… Dan itu terjadi siang ini, sebelum gue ‘main’ di Math Club di atas.

I LOVE YOU, Ibu...

I LOVE YOU, Ibu…

Jadi semalem sebelum hari ini, alias kemaren malem gue browsing internet dan nemuin gambar yang ngingetin gue sama seseorang. . .  Dan itu adalah IBU.  Gue yang terkenal suka corat-coret di setiap bagian tengah buku gue lagi iseng nunjukin satu gambar ke temen bangku gue, dan nanyain “Ini gambar apaan coba?  Baca dong,”
Temen gue yang dikenal suka reggae, cewek, dan seneng nari-nari ala ondel-ondel di kelas (sebut aja Fredi) jawab tanpa ekspresi, “I LOVE you.”
Lantas, karena gue sukanya ngisengin orang gue bales. “Salah, itu bacanya IBU.  Lah coba sekarang, ini bacanya apa? *nunjuk gambar yang mirip tapi dengan sedikit revisi*”  “IBU.” dia jawab.  Gue langsung bales, refleks.  “Nah itu dia, kenapa love bentuknya kayak gitu.  Soalnya kita sebenernya dituntut untuk nyayangin ortu, terlebih ibu yang udah sayang sama kita.  Gak usah nyayangin pacar dulu.”

Jujur, siang tadi gue gak mikir apapun, gak mau ngejelekin, nyinggung, ngebuat emosi, atau apapun, tapi tiba-tiba dia tanya… “Eh, Cer, rasanya tinggal sama ibu-bapak itu gimana sih?”

DEK.

Jantung gue berdetak 1.07843 detik lebih cepat dari biasanya, dan gue baru inget kalau ternyata temen gue tinggal sama om, dan itu pun cuma berdua.  Gue kaget dan bingung mau jawab apa.  Mau kayak orang biasa yang gak peduli perasaan orang, atau terlalu larut dalam emosi yang rasanya pingin meledak?  Ya…. Semua itu gue tutupin dengan satu jawaban gugup.. “Ya, ya.. Rasanya sih kadang-kadang.. Kayak mereka bawel ke kita, waktu kita capek disuruh-suruh, waktu kita lagi seneng dibuat jengkel, tapi jujur, ya… Rasanya… E… Enak.  Tapi, inget, siapa pun yang ngerawat kita sampe gede, itulah orang tua kita.  Bukan secara biologis.”

Jujur, sampe sekarang gue bingung mau jawab apa.  Dan gue baru nyadar satu hal, bahwa gak setiap orang hal yang gue punya.  Ada yang orang tuanya utuh, tapi gak peduli, ada yang tinggal satu dan terlalu manjain, ada yang keberadaannya entah ke mana.. Dan satu dari mereka adalah.. Fredi.  Dialah yang ngebuat gue gak isa berenti mikirin masalah ini.

Sebenernya dunia ini emang gak ada apa-apanya kalau Tuhan gak mau ngasih akal budi dan karunia buat setiap manusia untuk hidup–dan gue baru tahu itu sekarang.

Sore itu.. Kuragu

 Gue tumbuh di kota yang sedang bertumbuh juga, dan broken home adalah background biasa di kota gue tinggal.  Mata gue makin kebuka waktu gue sekolah di SMP tempat gue belajar sekarang, yaitu bahwa orang-orang yang keliatan punya sahabat karib, setiap hari ketawa dan ceria seperti orang tak punya kuk untuk dipikul.. Ternyata, dibalik semua senyuman itu, tumbuh satu hal yang jadi akar permasalahan kenapa sekarang ini, setiap gue login facebook isinya cuma “A is in relationship with B”, atau “Oh gitu, caramu jadi pacarku?  Sampe ngerasain sakitnya badanku gara-gara mikirin kamu!!  Capek aku mikirke kamu yang penuh rahasia!”

Hadapilah, bukan suatu kebohongan bahwa latar belakang kehidupan mereka juga memberi impact besar pada masa rentan mereka.  Sejak kecil, orang tua bertengkar, mabuk, keluyuran entah ke mana, dan bahkan (maaf) pergi meninggalkan kasih mereka di rumah kecil yang tak pernah dijajakinya lagi.  Mungkin buat gue, gampang bilang “Yuk deket sama Tuhan, yuk pelayanan.”  Tapi gak semua dari mereka dikenalin sama Sahabat Agung yang bisa melebihi setiap sahabat, konselor, psikologi di dunia!  Yang ada malah sejak kecil, anak dipertontonkan dengan ‘SMSan sama pacar baru’ di depan anak sendiri, atau mungkin selingkuh dengan orang yang bukan jodoh mereka.

Sekarang ini, faktanya adalah sulit buat nemuin remaja yang tetep megang predikat jomblo dari TK sampe *at least* lulus SMP. .

Dunia itu… Haru Biru

Sekarang gue gak tahu mau ngomong apa.. Dunia yang udah diciptain sejak awal mula kehidupan ini, di akhir zaman sekarang sudah gak kayak dulu lagi.  Dunia yang diciptakan dengan terang dan gelap yang tak tersatukan menjadi kelabu.  Tak ada lagi hitam dan putih, yang tersisa hanyalah satu, kelabu.

Orang-orang yang mungkin kita idolakan, setelah kenal lebih dekat, ternyata mengecewakan.  .  .  Terjerat dosa pornografi, terikat dengan narkoba, tercandu game online, terobsesi dengan diri sendiri….. Mungkin kita anggep dunia ini udah gak ada lagi yang murni baik dan murni jahat.  Ya, manusia gak ada yang sempurna; dan itu berarti dunia ini udah gak ada hitam dan putih.

Dia baik, tapi di belakang buruk.

Balik ke cerita sama Fredi, dia adalah salah satu korban, yang mungkin gak bisa dianggep korban murni karena dunia udah gak ada yang murni lagi; sejak kecil, sepanjang pengetahuanku, dia udah ditinggal ortu kerja, dan ia harus ngehadepin dunia ini sama om nya yang ngerawat Fredi..

Ada yang beranggapan, bahwa orang gak bisa dibilang korban karena ia punya otak sendiri, keputusan ia ambil sendiri–ia mau terus termenung, atau bahkan lebih parah lagi ngejerumusin dirinya sendiri ke dunia gelap–Itu keputusan dia.  Itu emang bener, tapi kalau kita semua ada cuma buat bilang “Putuskanlah sendiri.”, apa kita udah jadi berkat?  Apa kita udah nyadarin dia bahwa keputusan yang ia ambil harus bagaimana?  Mungkin secara teknis iya, tapi sebenernya nyadarin orang itu gak segampang ngebalik mutusin benang di baju.

Pagi ini gue dapet renungan yang PASTI* bisa jadi berkat buat kita semua..

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.  Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. – Matius 11:28-29

Yuk, kita dateng ke Tuhan waktu kita stres, bingung.  Intinya gue mau bilang kalau, mungkin manusia ngecewain kamu beratus-ratus kali, mungkin orang-orang yang deket sama kamu itu salah, dan kamu bingung mau ngapain… Inget, ada Tuhan yang selalu memberi ketenangan, ada Tuhan yang selalu merhatiin kamu, satu dari JUTAAN manusia di bumi.

Sore ini, seperti biasa, jam 4 sore kota kecil yang kutinggali diwarnai dengan air yang menetes basahi bumi ini… Namun..

Air itu.. Kelabu.

PS: Thanks for the featured image:
http://wallchips.com/rain-fall-photography-wallpaper-full-hd.html

5 thoughts on “Air itu… Kelabu

  1. between lucky boy & poor boy… what a classic story… but that’s great ^^
    in case (i’m sure you know) some people can’t appreciate them self and how lucky they are…

Leave a reply to ellen Cancel reply